Setelah
mencari celah di sela pelbagai rutinitas harian, akhirnya dengan menguatkan
tekad sayapun memberanikan untuk duduk manis di hadapan satuan perangkat
komputer yang sudah siap untuk dijamahi. Saat ini rohani saya sedang
dicabik-cabik dengan adanya isu rasisme yang begitu viral di media sosial. Tak ada
cara lain selain mencurahkan lewat sebuah
tulisan. Tak biasanya seperti ini, menulis manis di hadapan sebuah komputer.
Tapi kali ini seperti ada sebuah magnet yang menarik sangat kuat. Semakin menolak maka daya tariknya semakin kencang.
Tulisan
ini berangkat dari sebuah pop up platform berita di gawai saya dengan headline
“Rusuh di Jayapura”. Dalam pemberitaan tersebut menyebutkan bahwa telah terjadi
tindakan rasisme dari oknum aparat penegak hukum beserta organisasi masyarakat
setempat terhadap mahasiswa papua di Kota Surabaya dan Kota Malang yang dipicu
dengan tergeletaknya sebuah bendera merah putih di celah got depan asrama papua
pada hari Jumat, 16 Agustus 2019. Sontak kabar tersebut cepat menjalar ke
seluruh tanah air disertai video amatir yang didokumentasikan oleh salah
satu pemuda asrama papua. Suluh provokasi semakin memantik bara api
kebencian masyarakat papua ketika berita hoax yang bernuansa adu domba beredar
luas di daring media sosial. Alhasil demonstrasi berujung kericuhan pecah dan
menjalar ke bumi cendrawasih yang pada akhirnya menjadi sebuah gerakan bertajuk
#freewestpapua. Akibatnya penjarahan benda milik warga lokal maupun pendatang di iringi pembumihangusan fasilitas pemerintah melumpuhkan seluruh aktifitas di jantung
Ibukota Papua (Jayapura) dan daerah sekitarnya.
Kericuhan
dan tindakan rasisme terhadap mahasiswa papua yang terjadi sangat
disayangkan sekali. Peristiwa yang dapat memecah belah persatuan seharusnya tidak
boleh terjadi dalam bangsa yang selalu mengedepankan keberagaman. Menahan diri disertai pendekatan persuasif secara humanis merupakan langkah bijak yang harus dilakukan pemerintah untuk
meredam konflik yang terjadi agar tidak semakin memanas, terlebih di era digital
saat ini banyak oknum-oknum yang memanfaatkan media sosial untuk menggoreng isu-isu
yang sedang berkembang. Oleh karena itu, pemerintah harus membuka dialog dengan tokoh-tokoh papua dan bersikap tegas
terhadap pelaku rasisme.
Sejatinya
payung hukum terkait masalah diatas sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40
tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dalam Pasal 1 Ayat 1
disebutkan bahwa “Diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan,
pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang
mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau
pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di
bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya”. Sehingga,
pemerintah tidak boleh pandang bulu dalam melakukan proses penindakan serta
penegakan hukum terhadap segala sesuatu hal yang mengakibatkan terjadinya perbuatan diskriminasi ras dan etnis. Bagaimanapun bumi cendrawasih merupakan bagian dari Negara
kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga, perlu mendapatkan pelayanan dan
perlakuan selayaknya sebagai warga negara Indonesia.
Comments
Post a Comment