Korupsi merupakan salah satu kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang dapat menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan
sosial di suatu negara sehingga diperlukan upaya preventif dalam
membasminya. Perjuangan masyarakat Indonesia melawan korupsi setelah
reformasi akhirnya berhasil melahirkan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dengan ditandai
terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Institusi yang lahir dari rahim reformasi kemudian menunjukan
kedigdayaannya karena berhasil membuat elite politik dan penguasa korup masuk
bui. Tetapi semangat pemberantasan korupsi seakan runtuh seketika
akibat ulah para wakil rakyat periode 2014-2019 di akhir masa jabatannya memutuskan
untuk melakukan revisi Undang-Undang Lembaga Antirasuah. Bagaikan gayung bersambut Presiden terpilih 2019-2024 Joko Widodo
menyetujui agenda legislasi tersebut. Maka layak saya berkata “Quo Vadis”
Pemberantasan Korupsi Di Indonesia ?
Kepercayaan masyarakat terhadap elite politik di
senayan semakin gegai. Kegaduhan dan keriuhan antipati pun terus berlanjut di Ibukota Megalopolis Jakarta oleh para
pegiat antikorupsi karena tertanggal
5 September 2019 DPR bersepakat untuk merevisi secara terbatas Undang-Undang KPK. Kerasnya gelombang penolakan
itu bukan tanpa sebab, melainkan agenda legislasi tersebut dilakukan secara
terburu-buru dan diam-diam. Ketergesaan yang sangat jelas tersebut terlihat tak
sesuai dengan prinsip demokrasi soal perlunya keterbukaan. Dalam penetapan
suatu produk legislasi yang menyangkut kepentingan negara dan hajat hidup orang
banyak, partisipasi publik adalah sebuah keniscayaan.
Rancangan revisi terbatas Undang-Undang KPK yang
diajukan anggota legislatif tak jelas
cetak biru penguatan lembaga antirasuah dan konsep pemberantasan
antikorupsinya. Dari kesemuanya lebih tampak corak tak biru, tetapi hanya penuh
kepentingan beragam warnai partai. Kepentingan tersebut terakumulasikan dalam
salah satu peranti baru di KPK dengan adanya Dewan pengawas (Dewas). Sejatinya
fungsi pengawasan tidak harus dalam konsep lembaga internal di tubuh KPK,
melainkan bisa juga berbentuk sistem. Sistem yang selama ini sudah berjalan
bahwa BPK mengawasi keuangan dan DPR mengawasi dengan Rapat Dengar Pendapat
(RDK) oleh komisi III.
Masyarakat
pun paham, bahwa Undang-Undang merupakan produk resultan dari berbagai kepentingan
politik di senayan. Sehingga fungsi konstitusi dan peraturan perundang-undangan
memberikan ruang agar tak sekedar hanya memenuhi kaidah politik. Oleh karena
itu, keran partisipasi dan aspirasi masyarakat di akomodir dalam Pasal 96
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Namun, pada akhirnya keran itu disumbat dengan alasan
proses pengajuan cepat sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 Ayat 2
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan yang
memungkinkan pengajuan Undang-Undang KPK melesat menerobos antrian panjang yang
ada dalam program legislasi nasional. Alasan yang tercantum dalam Pasal 23
tersebut yaitu ketika keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam,
dan keadaan tertentu lainnya yang mengharuskan adanya urgensi nasional atas
kebutuhan suatu Undang-Undang. Sehingga, publik bertanya-tanya urgensi nasional
apa yang mengakibatkan Undang-Undang KPK layak dan pantas untuk di revisi.
Rapat Paripurna pada hari
Selasa tertanggal 17 September 2019 yang dipimpin oleh wakil ketua DPR RI Fahri
Hamzah terkait pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya di hadiri secara fisik oleh
102 Anggota, selebihnya menitipkan presensi. Sehingga, bisa dikatakan pengesahan
tersebut cacat formil merujuk dalam Putusan MK No27/PUU-VII/2009. Karena
kesepakatan itu memerlukan kehadiran fisik dan bukan hadir secara presensi.
Namun, dengan segala kesalahan itu semua prosesnya tetap dilanjutkan hingga
disahkan.
Akhir kata saya berharap kepada Presiden Joko Widodo
agar bisa memberikan sikap politik dengan menolak untuk mengesahkan. Walau tetap
Undang-Undang tersebut akan berlaku dalam 30 (tiga puluh) hari setelah disahkan
DPR meskipun tanpa tanda tangan Presiden. Selain itu, Presiden juga dapat
menerbitkan produk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk
memperkuat posisi politiknya terhadap pemberantasan korupsi dari revisi
Undang-Undang KPK yang telah diketuk palu oleh DPR. Masyarakat
pegiat antikorupsi juga bisa melakukan langkah-langkah Uji Materi (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi
karena pada saat 17 Oktober 2019 Revisi Undang-Undang KPK sudah tercatat dalam Lembaran
Negara Nomor 197 sebagai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Comments
Post a Comment